ABAD29Studio Kota Bireuen adalah ibu kota dari
Kabupaten Bireuen. Letak kota ini yaitu pada jalur lintas trans
sumatera, persisnya dipertigaan arah menuju Kabupaten Bener Meriah atau
kota dingin Takengon. Karena letaknya yang strategis, maka arus lalu
lintas di “kota juang” selalu ramai dengan arus lalu lintas. Namun,
tahukah Anda dari mana asal mula nama kota tersebut?
Sampai sekarang ini nama kota tersebut memang belum pernah dilakukan
seminar, sehingga tentang asal mula nama kota itu berkembang beragam
versi di masyarakat. Salah satunya, Bireuen disebut bermula dari kata
“Bireweung”. Versi ini mengkaitkan dengan kunjungan Raja Aceh pada tempo
dulu.
Sultan Iskandar Muda pada masa lalu pernah berkunjung ke daerah yang
sekarang ini dikenal Bireuen. Kedatangan Raja Aceh disambut gembira oleh
rakyat dengan berbondong-bondong turun ke kota untuk melihat penempilan
raja dari dekat.
Rakyat yang datang dari empat penjuru wilayah itu setiba di kota
mengambil posisi berdiri di kiri kanan sepanjang jalan yang akan
dilintasi raja bersama rombongan dari Kuta Raja. Begitu sultan tiba
rakyat yang tadinya berdiri tertib di kiri kanan jalan bergerak berupaya
mendekati sang raja untuk bersalaman, akibatnya raja pun kesulitan
berjalan.
Pihak pengawal rombongan menyadari hal dimana raja telah dikerumini
massa langsung bertindak menertib rakyat untuk tertib di kiri kanan
jalan.”Bireuweung, bireuweung, bireuweung,”pinta pengawal kepada rakyat.
Ucapan inilah yang kemudian berubah menjadi “Bireuen”.
Namun versi ini disangkal oleh salah seorang sesepuh setempat. Kepada
KoranBireuen dia berkata, asal mula kata Bireuen bukan dari Bireuweung,
karena tidak lazim nama daerah dari ucapan seseorang. Umumnya, kata
sumber itu, nama daerah di Aceh adalah dari kondisi alam. Contoh,
Gampong Cot Gapeuh, nama gampong ini adalah karena alam gampong itu
berbukit dan pada bukit itu ada pohon gapeuh (kapuk), maka disebutlah
Gampong Cot Gapeuh.
Begitu pula dengan Bireuen. Menurut sumber ini, kata itu berasal dari
“Bineh Krueng”. Alasannya, di daerah ini dulunya pernah mengalir sungai
yang di kenal Krueng Juli. Buktinya dapat dilihat dari jembatan “tutu
meuria” dan palung sungai yang telah mengecil menjadi alur.
Dan gampong dipinggir sungai itu dulunya disebut Gampong Bineh
Krueng, namun seterusnya ucapan itu bergeser menjadi Bireuen. Hal itu
seperti yang terjadi pada Blang Tupat yang sekarang sering disebut Batu
Pahat, Pucok Aleu Rheng yang bergeser menjadi Cot Loreng, Samar Langa
menjadi Samalanga. Sebagian wilayah Gampong Bireuen adalah kawasan Kota
Bireuen, maka nama kota ini disebut Kota Bireuen. Sedangkan Gampong
Bireuen juga telah dimekarkan menjadi Bireuen Meunasah Reuleut, Bireuen
Meunasah Blang,Bireuen Meunasah Capa, dan Bireuen Meunasah Teungku Di
Gadong.
Selain dua persi itu, ada pula yang menyatakan Bireuen berasal dari
bahasa gayo yaitu “Beren”. Ceritanya, pada zaman dahulu penduduk
pedalaman gayo untuk memasar hasil pertanian dan untuk mendapatkan
kebutuhan sehari hari mereka lakukan di kota Bireuen. Sementara di
dataran tinggi gayo pada masa itu belum ada kedai yang dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat. Selain itu sistim jual beli pun masih mengikuti
cara barter, dimana barang ditukar dengan barang.
Orang orang dan saudagar dari gayo itu setiap hari pekan (sabtu)
turun ke Bireuen untuk bertransaksi. Mereka menjual kerbau, hasil hutan,
seperti rotan, dan hasil pertanian yang memang melimpah dari daerah
berhawa sejuk. Tidak saja itu, warga gayo juga membeli kebutuhan mereka
seperti kain, gula pasir, beras dan lainnya.
Transaksi di kota ini yang telah menggunakan alat tukar sah (bukan
cara barter) terkagum-kagum warga gayo, apalagi bagi mereka yang baru
pertama sekali datang ke Bireuen. Bagi yang pertama kali datang ke
Bireuen oleh kawannya diingatkan dengan kalimat “disini ‘beren’ (bayar),
tidak boleh tukar dengan barang”. Ucapan ini kemudian berkembang dan
sampai ke masyarakat luas di dataran tinggi gayo, sehingga ketika hendak
ke Bireuen mereka menyebutnya “beren” dan lidah orang pesisir
menyebutnya Bireuen.(A Hadi Djuli)
Sumber Koran Bireuen